Kamis, 08 April 2021

Sejarah Tata Hukum Indonesia

 

Sejarah Tata Hukum Indonesia 



Lahirnya Tata Hukum Indonesia

Berdasarkan video Seri: Pengantar Hukum Indonesia, Episode2: Sejarah Tata Hukum Indonesia oleh Cekli Setya Pratiwi, SH. LL.M bahwa tata hukum Indonesia lahir bersamaan dengan lahirnya Negara Indonesia yaitu pada saat diproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus tahun 1945, proklamasi ini dikenal sebagai “satu detik penjebolan tata hukum kolonial” agar mengarah ke pembentukan hukum baru, hukum nasional Indonesia. Dalam membentuk tata hukum Indonesia tidak dapat dilakukan dalam waktu yang singkat karena pembentukan undang-undang membutuhkan waktu yang cukup lama, membutuhkan dana yang besar, dan sebagainya padahal hukum-hukum yang suatu negara (Indonesia) butuhkan sangat banyak dan kompleks. Maka, dalam permasalahan yang dihadapi Indonesia saat itu untuk menghindari  kekosongan hukum (Recht Vacuum) dengan merujuk pada pasal 2 aturan peralihan undang-undang Dasar 1945 sebelum amandemen dimana, semua badan atau lembaga dan peraturan yang ada masih dapat berlaku sepanjang belum diganti menurut Undang-Undang Dasar 1945, dengan diperkuatk oleh adanya asas konkordansi. Asas konkordansi ini adalah hukum-hukum yang berlaku pada masa penjajahan dan diambil oper dan diberlakukan dieseluruh wilayah Hindia-Belanda (wilayah bekas jajahan Belanda).

Sejarah Tata Hukum Indonesia Sebelum Kemerdekaan atau Masa Penjajahan

Mengutip dari apa yang dipaparkan oleh Cekli Pratiwi (2021) Sejarah tata hukum di Indonesia sebelum kemerdekaan terdapat tiga masa yaitu:

Masa VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), pada masa VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), VOC mengutamakan perekonomian, dimana bidang hukum kurang diberikan perhatian. Statuta Van Batavia dikeluarkan pada tahun 1642  dan pada tahun 1766 diperbaharui dengan nama Nieuwe Bataviase Statuten atau statuta Batavia baru. Hukum yang berlaku pada masa VOC ialah masyarakat pribumi dibolehkan menggunakan hukum-hukumnya sendiri seperti hukum adat dan hukum agama, belum adanya kehendak untuk menciptakan unifikasi hukum walaupun dalam beberapa aspek pokokmengintervensi peradilan-peradilan agama ataupun peradilan-peradilan adat.

Masa Hindia-Belanda, pada tahun 1800-1811 setelah itu tahun 1816-1942, bidang hukum mulai mendapatkan perhatian hukum, politik hukum Hindia-Belanda mengarah kepada adanya kodifikasi hukum yang dipengaruhi oleh faham ligesme sehingga hukum itu harus tertulis, jelas, dan tidak lagi mengandalkan hukum-hukum tidak tertulis. Politik hukum Hindia-Belanda juga mengarah kepada adanya kehendak unifikasi hukum, sistem hukum Belanda berpijak pada hukum Perancis. Contohnya Penal Code atau yang dikenal dengan kitab undang-undang hukum pidana dan Burgerlijk Wetboek  Vooer Indonesie yang kita kenal dengan kita undang-undang hukum perdata, hukum-hukum tersebut merupakan hukum perancis yang diberlakukan di Hindia-Belanda.

Sejak tahun 1847-1942 terdapat periode-periode penting selama masa pemerintahan Hindia Belanda, tercatat ada tiga peraturan pokok yang pernah berlaku secara bergantian:

  • Algemene Bepalingan Van Wetgeving Voor Indonesie atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang disingkat dengan “AB”   dengan Stb 1847 No. 23 (1848-1854)
  • Regerings Reglement atau peraturan pemerintahan adalah Peraturan Pemerintah ini diperlakukan berdasarkan Stb 1854 No.2 jadi ini berlaku antara 1855 sampai 1926

  • Indische staatsregeling atau dikenal dengan “IS” dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai konstitusi Hindia Belanda,  diberlakukan berdasarkan Stb 1925/14 15  mulai berlaku dari 1 Januari 1926 sampai dengan 1942, yang dimana pada tahun 1942 masa penjajahan Belanda berakhir karena pada tahun 1942 kita berada dalam jajahan Jepang.

Beberapa hasil kodifikasi periode 1940-an seperti Algemene Bepalingan  atau ketentuan peraturan perundang-undangan, Burgerlijk Wetboek atau kitab hukum perdata, Wetboek Van Koophandle atau kitab undang-undang hukum dagang, Reglement op de Burgerlijk Rechtsvardering (RV) atau hukum acara perdata. Hukum-hukum tersebut yang berlaku di masa pemerintahan Hindia Belanda, setelah itu pada awal kemerdekaan diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia berdasarkan peraturan peralihan  nomor 2 UUD 1945 dan berdasarkan asas konkordansi . Bergerlijk Wetboek diberlakukan tahun 1859, hukum perdata, hukum pidana Belanda  diambil dari hukum perdata dan hukum pidana yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian.

kebijakan yang berkaitan dengan unifikasi yang terjadi yaitu karena berlaku Regering Reglement itu ada pasal 11 AB, dilanjutkan dengan pasal 75 RR pada dasarnya membagi penduduk hindia-belanda menjadi golongan-golongan yaitu dua golongan, golongan pribumi dan nonpribumi :

  • golongan pribumi berlaku hukum-hukum yang sudah kalau lama diberlakukan kepada golongan pribumi
  • golongan non pribumi itu diberlakukan hukum-hukum asing.

Kebijakan penundukan diri secara sukarela pada tahun 1917, kalaupun golongan-golongan pribumi ingin menundukkan diri kepada hukum-hukum asing itu juga dipakai diperbolehkan. Pada pasal 131 IS junto pasal 163 IS substansinya sama dengan pasal 75 RR yang baru, yang membedakan adalah tiga golongan hukum perdata yang berlainan. 

Masa Jepang, pada masa Jepang, daerah Hindia-Belanda dibagi menjadi 2 yaitu:

Indonesia Timur dibawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang berkedudukan di Makassar

Indonesia Barat dibawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang berkedudukan di Jakarta

pada masa Jepang tidak terdapat  perubahan yang signifikan dalam aspek hukum Indonesia, hukum-hukum yang berlaku pada masa Hindia-Belanda tidak ada perubahan karena pemerintah Jepang berfokus pada mobilisasi penduduk Indonesia yang bertujuan untuk kepentingan Jepang dalam kemenangan perang dunia ke-2 yang pada akhirnya Jepang kalah.

Produk hukum yang penting adalah Osamu Seirei nomor 1 tahun 1942 yang mengatur tentang ketentuan peralihan yang mengakibatkan peraturan-peraturan sebelumnya, yaitu produk pemerintahan Hindia-Belanda masih berlaku,  tidak ada perubaha-perubahan yang signifikan pada pemerintahan dan lembaga-lembaga peradilan yang digunakan. Terdapat peralihan-peralihan nama tetapi,  hanya  namanya saja yang berubah. Namun, secara fungsi dan kewenangannya tidak mengalami perubahan.

Sumber referensi:

Seri: Pengantar Hukum Indonesia, Episode2: Sejarah Tata Hukum Indonesia

Ratna Artha Windari. 2017. Pengantar Hukum Indonesia. Depok: PT. RajaGrafindo Persada.


 

0 komentar:

Posting Komentar