Tata Hukum Indonesia pada Masa Orde Baru dan Masa Reformasi,
Berdasarkan video Seri: Pengantar Hukum Indonesia, Episode3: Tata Hukum Indonesia di Masa OrBa & Reformasi oleh Cekli Setya Pratiwi, SH. LL.M. pada masa orde baru merupakan masa pemerintahan presiden Soeharto, dimana itu terjadi setelah berakhirnya pemerintahan Soekarno karena adanya kudeta G30S PKI, dengan adanya surat perintah 11 Maret 1966 yang disebut supremar oleh Soeharto itu menandai pergantian pemerintahan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto.
Pada pemerintahan Soeharto, adanya pemberlakuan rencana pembangunan jangka panjang pertama yaitu RPJP I tahun 1969 dengan rencana pembangunan lima tahun atau yang disebut dengan "repelita". Kebijaksanaan rencana pembangunan jangka panjang pertama, memfokuskan terhadap pembangunan ekonomi karena stabilitas ekonomi sebelumnya merosot sampai dengan 600% akibat inflasi, di dalam repelita tumpuan pokoknya adalah meningkatkan ekonomi dan politik bangsa Indonesia tetapi, dengan pendekatan-pendekatan keamanan yang lebih nampak. Kebijakan yang ditetapkan yaitu melalui garis-garis besar haluan negara yang dirumuskan didalam Trilogi Pembangunan terdiri atas pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kemakmuran yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Dalam Trilogi Pembangunan sejak 1973 sampai dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara 1999 (GBHN 1999) sasaran pembangunan dibagi ke
dalam empat bidang antara lain: bidang ekonomi, bidang agama dan kepercayaan terhadap
Tuhan yang Maha Esa dan sosial-budaya, politik aparatur pemerintahan hukum, hubungan
luar negeri dan pertahanan keamanan nasional. Pembangunan hukum sebagai salah
satu sektor dari pembangunan di bidang politik maka, jelas tatanan hukum
dipandang sebagai subsistem dari sistem politik dimana, tatanan hukum menempati kedudukan yang subordinat dibanding dengan tatanan politik.
Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi Negara, mengeluarkan Ketetapan MPRS Nomor 20 MPRS 1966, contoh ketetapan MPR nomor 5 MPRS 1973 yang memuat tentang hierarki peraturan perundang-undangan sebagai pelaksana dari amanat undang-undang Dasar 1945. Menurut TAP MPR 1966 nomor 20, tata urutan perundang-undangan di Indonesia yaitu:
- undang-undang dasar,
- ketetapan MPR,
- undang-undang dan atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau Perpu,
- peraturan pemerintah,
- keputusan presiden,
- Peraturan pelaksana lainnya, peraturan pelaksana lainnya ini seperti instruksi menteri dan lain-lain.
Dari tata urutan perundang-undangan tersebut
terdapat perubahan-perubahan dari masa orde baru terhadap masa reformasi.
Pada masa orde baru antara kurun waktu 1993-1997 terjadi perubahan paradigma politik, dimana pembangunan hukum dikeluarkan dari pembangunan bidang politik sehingga tidak berada di dalam sub koordinasi bidang politik, pembangunan hukum ditempatkan secara mandiri. Secara formal GBHN 1993-1958 terbuka bagi pandangan yang tidak lagi melihat hukum sebagai subsistem dari sistem politik. Oleh karena itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat mengeluarkan ketetapan nomor 2 MPR 1993 dimana 7 bidang pembangunan nasional itu terdiri dari, bidang pembangunan ekonomi, bidang kesejahteraan Pendidikan dan Kebudayaan, bidang agama kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, bidang hukum, bidang politik Aparatur Negara penerangan komunikasi dan media massa, dan bidang pertahanan keamanan penyelenggaraan pemerintahan.
Pada masa orde baru terjadi penyalahgunaan ketentuan peraturan perundang-undangan demi kekuasaan sehingga penyimpangan-penyimpangan itu dapat dilihat dari praktek-praktek kenegaraan dimana, ketentuan peraturan perundang-undangan ditafsir dalam konsepsi Negara integralistik ala Soepomo sebagai acuan dasar di dalam pembangunan politik sehingga memunculkan kekuasaan negara yang sangat kuat dan hampir dikatakan tanpa control, khususnya hal ini terjadi pada kekuasaan eksekutif dimana, kekuasaan legislatif juga bisa dikategorikan kurang memiliki peranan yang cukup maksimal sebagai lembaga pembentuk undang-undang maupun sebagai lembaga pengawas dari kinerja dari eksekutif, demikian juga independensi peradilan yang masih sangat jauh dari ideal sehingga terjadilah pemerintahan otoritarianisme pada saat pemerintahan Soeharto yang pada akhirnya diturunkan pada tahun 1998 melalui gerakan reformasi.
Tata Hukum Indonesia Pada Masa Reformasi
Dilihat pada video yang sama Seri: Pengantar Hukum Indonesia, Episode3: Tata Hukum Indonesia di Masa OrBa & Reformasi oleh Cekli Setya Pratiwi, SH. LL.M. bahwa masa reformasi dimulai sejak pemerintahan Soeharto digulingkan oleh gerakan reformasi pada tahun 1998, gerakan ini dipelopori oleh mahasiswa pada saat itu dan gerakan reformasi juga menandai berakhirnya rezim otoritarianisme untuk menuju kepada sistem pemerintahan yang lebih demokratis. Reformasi ini membawa perubahan pada sistem hukum di Indonesia, dimulai dengan adanya perubahan undang-undang Dasar 1945 oleh MPR melalui amandemen yang sampai sekarang sudah dilakukan sebanyak empat kali. Dengan perubahan ini semula undang-undang Dasar 1945 hanya terdiri dari 16 bab 37 pasal tetapi, setelah dilakukan amandemen maka, undang-undang Dasar 45 terdapat 20 butir pasal tetap, 43 butir pasal diubah, dan 128 pasal merupakan teman baru.
Setelah kita lihat semakin hari semakin detail dan semakin banyak pasal-pasal yang ada di dalam undang-undang Dasar 1945, secara secara garis besar perubahan-perubahan yang terjadi pada undang-undang Dasar 1945 yaitu :
Perubahan pertama, menyangkut pembatasan kekuasaan
Presiden karena akibat dari negara integralistik yang disalahgunakan sebagai
alat kekuasaan tanpa batas maka, fokus
perubahan yang pertama dari undang-undang Dasar 1945 adalah upaya yang
dilakukan untuk membatasi kekuasaan suatu pemerintahan. Terdapat beberapa pasal
yang mengalami perubahan yaitu pasal 5, pasal 7, pasal 9, pasal 13, pasal 14,
pasal 15, pasal 17, pasal 20 dan pasal
21. Jadi, membatasi masa jabatan
presiden lalu mengembalikan kewenangan atau kekuasaan membentuk undang-undang
pada DPR meskipun, presiden juga masih memiliki kewenangan untuk dimintai
persetujuan dan menguatkan lembaga Mahkamah Agung.
Perubahan kedua, dimasukkan bab 10a tentang hak
asasi manusia yang sebelumnya pasal 28
hanya terdiri dari dua ayat, berubah menjadi banyak. Jadi, 28 berubah dari 28a sampai dengan 28 J
yang masing-masing huruf itu juga dibagi kedalam beberapa ayat. Substansi dari
Bab 10a tentang hak asasi manusia tidak
jauh berbeda dengan substansi dari deklarasi umum hak asasi manusia dan juga
dua kovenan turunannya yaitu, kovenan hak sipil politik tahun 1966 dan kovenan
hak ekonomi sosial budaya 1966, keduanya sudah diratifikasi oleh pemerintah
Indonesia sejak 2005 sehingga ada kewajiban hukum dan kewajiban moral bagi bangsa
Indonesia untuk mengadopsi prinsip-prinsip yang ada di dalam Deklerasi
Universal Ham (Duham) maupun 2 kovenan dalam turunannya agar dimasukkan dalam
hukum nasional.
Perubahan ketiga, menyangkut lembaga kepresidenan
dan lembaga perwakilan rakyat yang belum dibahas dalam amandemen ketiga serta
penghapusan lembaga negara seperti Dewan Pertimbangan agung dan pelembagaan
Bank Indonesia yang diikuti dengan permasalahan pendidikan dan kebudayaan serta
perekonomian sosial dan kesejahteraan sosial secara spesifik di dalam pasal 2,
Pasal 6a, pasal 8, pasal 11, pasal 23d, pasal 24, pasal 31, pasal 32, pasal 33,
pasal 34 dan pasal 37 serta aturan peralihan 1-3 dan aturan peralihan 1
pertambahan 1-2.
0 komentar:
Posting Komentar