Senin, 12 April 2021

Subjek-Subjek Hukum dalam Ilmu Hukum

 Subjek-Subjek Hukum dalam Ilmu Hukum



Berdasarkan video Seri: Pengantar Hukum Indonesia, Episode:Subyek-subyek Hukum dalam Ilmu Hukum oleh Cekli Setya Pratiwi bahwa secara umum subjek hukum diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat menjadi pendukung hak dan kewajiban artinya segala sesuatu ini memiliki hak-hak yang baik itu bersifat zakat maupun hak-hak yang memang diberikan oleh hukum serta memiliki kewajiban-kewajiban akibat dari adanya ketentuan peraturan perundang-undangan. Subjek hukum di dalam ilmu hukum itu dibagi menjadi dua yang pertama adalah manusia dan yang kedua adalah badan hukum.

Manusia sebagai subyek hukum itu di diakui bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sama sebagai pendukung hak dan kewajiban dihadapan hukum, setiap orang tidak memandang kaya atau miskin, tidak memandang agamanya, rasnya, warna kulitnya, asal-usul kesukuannya atau etnis. Maka, seseorang itu memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum sehingga mereka berhak untuk diperlakukan setara.

Dalam pasal 2 KUH Perdata mengecualikan kepada anak bayi yang masih dalam kandungan ibunya dianggap telah lahir dan menjadi subyek hukum apabila kepentingannya menghendaki yaitu apabila bayi tersebut lahir dalam keadaan meninggal maka menurut hukum dia dianggap tidak pernah ada tetapi apabila dia lahir dalam keadaan hidup maka oleh hukum dia dianggap ada.

Tentang prinsip equality before the law itu juga diakui sebagai hak yang tidak dapat dikurang kurangi dalam keadaan apapun di dalam undang-undang Dasar pasal 28 I tahun 1945. Selain itu, berbagai instrumen Hak Asasi Manusia internasional seperti deklarasi umum hak asasi manusia 1948 kovenan hak sipil dan politik tahun 1966 juga mengakui bahwa hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum itu adalah hak yang bersifat fundamental dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Manusia yang dianggap belum cakap untuk melakukan perbuatan hukum itu. Maka, dianggap sebagai subyek hukum dalam pengertian yang tidak penuh, yang pertama adalah anak-anak yang masih di bawah umur atau belum dewasa kalau di dalam Kitab undang-undang hukum pidana, kedewasaan seseorang itu adalah ketika mencapai 18 tahun keatas Jadi mereka yang masih berumur dibawah 18 tahun itu dianggap anak-anak atau belum dewasa sehingga oleh hukum dianggap tidak cakap hukum. sementara kalau menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) usia dewasa seseorang itu adalah 21 tahun atau belum pernah menikah jadi, kalau menurut hukum perdata  karena ini adalah hukum yang merupakan hukum asing maka, usia kedewasaan ini agak berbeda sehingga di dalam melakukan perbuatan-perbuatan keperdataan misalnya kalau anda melakukan perjanjian hutang-piutang di bank pada umumnya kedewasaan seseorang ini masih menggunakan pedoman Hukum Perdata (BW) yaitu 21 tahun keatas. 

Dalam undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 kedewasaan seseorang itu berbeda yaitu kalau laki-laki diatas 19 tahun dan perempuan itu 16 tahun sehingga untuk perempuan usia perkawinan itu dapat dilakukan jika telah di atas 16 tahun. Tetapi, mengenai kedewasaan di dalam perkawinan ini sudah mengalami perubahan akibat Keputusan Mahkamah Konstitusi sehingga kedewasaan di dalam perkawinan ini adalah 18 tahun keatas hal ini sama dengan yang diatur didalam undang-undang Perlindungan Anak dimana didalam undang-undang Perlindungan Anak merupakan konsekuensi dari stratifikasi Indonesia terhadap International Convention on the Rights of the child di usia anak-anak itu mereka yang berusia di bawah 18 tahun sehingga di dalam melakukan perkawinan anak-anak juga tidak boleh melakukan perkawinan menurut undang-undang Perlindungan Anak karena dia jika usianya masih di bawah 18 tahun maka dia belum bisa melakukan perkawinan tetapi soal usia perkawinan 18 tahun keatas itu di masyarakat masih banyak disimpangi sehingga masih banyak anak-anak yang melakukan perkawinan di bawah umur dan menjadi satu masalh sosial kita harus tanggulangi bersama-sama untuk menyadarkan masyarakat bahwa perkawinan anak itu sangat merugikan hak-hak anak.

Di Indonesia kecakapan hukum itu sifatnya masih kurang jelas, di dalam peraturan perundang-undangan yang masih membedakan usia cakap hukum menurut kitab undang-undang hukum pidana dan menurut kitab undang-undang hukum perdata serta menurut hukum perkawinan yang kedua yang juga dianggap tidak cakap adalah orang dewasa. Namun, berada dibawah pengampuan misalnya, dalam keadaan gila, mereka yang di bina di Rumah Sakit Jiwa itu dianggap tidak cakap hukum sehingga ketika dia melakukan suatu perbuatan hukum, maka perbuatan hukum itu dapat dibatalkan karena tidak karena si pembuat dianggap tidak cakap hukum dan orang-orang yang tidak cakap hukum ketika melakukan suatu perbuatan hukum maka dia tidak bisa dipaksa untuk dimintai pertanggungjawaban hukum karena dia dianggap belum cakap hukum jadi abisa dijadikan dasar untuk Mengapa menjadikan ketidakcakapan hukum itu sebagai alasan pemaaf kalau itu di dalam satu hukum pidana artinya anak-anak atau orang gila yang melanggar hukum pidana perbuatannya tetap dikatakan sebagai perbuatan yang melanggar hukum tetapi pertanggungjawaban pidananya biasanya dihapuskan atau dikurangi hal ini sangat tergantung dari masing-masing kasus

Selain orang yang gila ada juga orang yang misalnya memiliki penyakit tertentu seperti cliptomania jadi mereka-mereka yang suka mengumpulkan barang-barang dimana barang-barang itu diambil dari atau dengan cara mencuri. Tetapi, orang yang menderita sakit cliptomania ini tidak menyadari bahwa tindakannya ini adalah tindakan yang salah atau melanggar hukum. Contoh lain adalah pemabuk atau mereka yang poros jadi boros ia menghabiskan uangnya dalam waktu yang sangat cepat karena mereka memiliki kelainan mental.

Dulunya dalam pasal 110 kitab undang-undang hukum perdata, istri itu dianggap tidak cakap hukum sehingga istri dalam melakukan perbuatan hukum seperti membuat perjanjian perjanjian atau kontrak-kontrak. Misalnya hutang-piutang di bank, atau perjanjian yang lain misalnya ke perjanjian jual-beli maka, biasanya oleh-oleh Bank istri ini tidak dianggap tidak cakap hukum sehingga harus mendapatkan persetujuan suami dan sebagainya. Tetapi, setelah Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 1963 setiap istri yang melakukan suatu perbuatan hukum itu sudah dianggap cakap hukum.

Badan hukum ada empat teori yang menjadi dasar sehingga badan hukum digolongkan atau diakui sebagai subyek hukum, antara lain:

Teori fiksi yaitu bahwa badan hukum dianggap sama dengan manusia atau orang dimana dia melapisi melakukan suatu perbuatan-perbuatan hukum dan dia juga mendapatkan hak-hak yang dilindungi oleh hukum, dia juga dituntut untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban berdasarkan hukum. Misalnya, yayasan, yayasan ini adalah salah satu contoh badan hukum dimana dia bisa memiliki kekayaan, dia bisa melakukan jual-beli, dan dia juga bisa digugat atau dituntut apabila dia melakukan perbuatan melawan hukum atau ingkar janji.

Teori kekayaan bertujuan, yaitu harta kekayaan dari suatu badan hukum mempunyai tujuan tertentu dan harus terpisah dari harta kekayaan para pengurus atau anggotanya. Contoh pelaksanaan teori ini adalah ketika kita melihat konteks perseroan terbatas atau PT atau Yayasan jadi perseroan terbatas atau PT dan yayasan itu adalah dua dari contoh badan hukum dimana para pengurus perseroan terbatas atau yayasan itu kekayaannya terpisah dari kekayaan yayasan. Oleh karena itu, apabila yayasan mengalami kerugian maka tanggungjawab pengurus itu tidak sampai kepada harta kekayaan pribadinya Jadi hanya modal yang disetor di dalam perusahaan itu atau yayasan itulah yang akan digunakan untuk membayar utang-utang, utang-utang perusahaan atau utang-utang yayasan yang menjadi tanggungan tidak sampai kepada kekayaan pribadi pengurusnya.

Teori kepemilikan bersama, yaitu semua harta kekayaan dari suatu badan hukum itu menjadi milik bersama dari para mengurusnya dan biasanya tergantung dari kesepakatan yang dicantumkan di dalam anggaran dasar maupun anggaran rumah tangga.

Teori organ, yaitu badan hukum harus mempunyai organisasi atau alat untuk mengelola atau melaksanakan kegiatan di dalam mencapai suatu tujuan yaitu organ-organ yang dimaksud adalah bahwa sebuah organisasi seperti PT misalnya dia memiliki pengurus, memiliki aset atau modal.

Badan hukum dibagi  menjadi dua yaitu badan hukum privat dan badan hukum publik:

Badan hukum privat, yaitu didirikan untuk memperoleh keuntungan-keuntungan atau bersifat profit oriented. Misalnya, perseroan terbatas Firma, koperasi, yayasan kadang kala didirikan untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan tertentu tetapi pada umumnya yayasan-yayasan ini bersifat nirlaba. Jadi, tidak mengejar satu keuntungan keuntungan materiil tetapi melaksanakan kepentingan-kepentingan yang bersifat public.

Badan hukum publik, artinya badan hukum ini milik negara contohnya adalah negara itu sendiri, Pemerintah Daerah Desa, Badan Usaha Milik Negara, dan sebagainya.

Badan hukum itu bisa dibedakan berdasarkan domisilinya, domisili adalah tempat dimana seseorang atau badan hukum dianggap hadir atau selalu hadir dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajiban-kewajibannya. Meskipun, pada kenyataannya ia tidak berada di tempat tersebut. Jadi, domisili itu biasanya di tentukan dari mana atau dimana seseorang atau badan hukum tersebut beralamat atau bertempat tinggal jadi disitu domisili biasanya ditentukan nah biasanya alamat atau tempat tinggal itu bisa dilihat dari tempat kedudukan, di tempat kedudukan satu perusahaan itu menentukan dimana domisili dari perusahaan tersebut. Sedangkan, untuk manusia domisili itu biasanya ditentukan dari kartu tanda penduduknya titik dimana dia berdomisili itu sesuai dengan ktp-nya.

Dalam kuhperdata di pasal 17 ya setiap orang dianggap memiliki domisili pokok bagi orang yang tidak memiliki. Maka, domisilinya dianggap berada di tempat dimana sebenarnya ia tinggal. Jadi, ini dalam kasus-kasus ya dimana seseorang tidak memiliki atau belum memiliki KTP misalnya karena sesuatu, bisa saja karena usianya belum 17 tahun, KTP-nya hilang, dia tidak pernah mengajukan permohonan untuk mendapatkan kartu tanda penduduk. Maka, domisili seseorang itu menurut pasal 17 KUHP data dianggap berada di bertempat tinggal.

Domisili dibedakan menjadi dua yaitu domisili sesungguhnya dan domisili yang dipilih. Jadi, kalau misalnya seseorang hendak melakukan suatu perbuatan hukum, mengajukan satu permohonan bisa saja dia memilih, memilih satu domisili sesuai dengan pilihannya dia kalau misalnya ada kondisi dimana, seseorang tersebut memiliki tempat tinggal lebih dari satu.

Domisili dibagi menjadi dua, yaitu domisili sukarela sehingga dia tidak tergantung dan tidak ditentukan oleh hubungan dengan orang lain dan yang kedua adalah domisili wajib atau terikat yaitu domisili yang ditentukan oleh hubungan seseorang dengan orang lain misalnya dalam hubungan perkawinan.

Domisili yang dipilih karena undang-undang itu misalnya di dalam hal mengajukan gugatan di pengadilan Jadi kalau misalnya sedang melakukan permohonan adopsi anak atau gugatan perceraia, bisa saja memilih domisili, dimana anda melayangkan gugatan tersebut . Hal ini apa menurut tata cara yang berlaku di dalam hukum acara masing-masing. Sedangkan, domisili yang dipilih secara bebas, biasanya terjadi ia dalam hal perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tertulis di hadapan notaris. Maka, dimana notaris itu beralamat kantornya atau berdomisili. Maka, domisili itulah yang kemudian kita pilih.

Sumber referensi :

Seri: Pengantar Hukum Indonesia, Episode:Subyek-subyek Hukum dalam Ilmu Hukum

0 komentar:

Posting Komentar